Senin, 20 April 2015

Ku Kepang Rambut Ibu Untuk Yang Terakhir



Ku Kepang Rambut Ibu Untuk Yang Terakhir
          Sudah banyak kenangan yang aku lalui bersama ibu. Di usia ke 68 ibu  masih terlihat bersemangat mengerjakan kegiatan sehari-hari. Tidak pernah tangannya berhenti bekerja. Kadang kami mengingatkan untuk tidak bekerja terlalu lelah tapi semua itu tidak pernah digubris ibu. Aku akan menyembunyikan arit yang digunakan ibu dan itu akan membuat ibu jadi marah ibu mengatakan itu adalah olah raga bagi ibu, Akhirnya aku mengalah setiap ibu selesai berolah raga dengan cangkul dan aritnya maka aku akan memijit  badan  kaki dan tangan ibu dan hal itu akan membuat ibu nyenyak tidur atau aku buatkan bubur ketan hitam kesukaan ibu.. Dulu tangan itulah yang menyuapi dan mengurus kami, kata ibu “dengan jari yang sepuluh inilah ibu membesarkan anak”. Tatkala adikku merengek  minta ikut maka saat mau pergi  mengajar ibu tidak pernah kehilangan akal untuk membujuk, dengan cekatan tangan itu mengambil batang kangkung yang tumbuh di depan rumah lalu dilobangi ruas-ruasnya sehingga menyerupai sebatang pipet setelah itu  dicelupkan ke air sabun. Ibu meniupnya maka gelembung sabun akan berterbangan. Adik ku akan melompat gembira menangkap balon-balon kecil itu. Aku segera mengambil alih air sabun ditangan ibu sambil memberi kode bahwa ibu sudah boleh pergi mengajar. Entah dari mana ibu dapat kepandaian yang jelas adikku tidak tahu bahwa ibu sudah berangkat kesekolah tempatnya mengajar. Ibu sempat kerepotan dengan rambutku yang panjang kalau aku tidak bersamaan berangkat kesekolah ibu takut rambutku akan berantakan , Aku tahu ibu pasti tidak suka aku berangkat kesekolah dengan rambut acak-acakan maka pagi sekali aku minta rambutku dikepang oleh ibu lalu aku jepit yang banyak untuk menjaga kerapihannya karena aku berangkat kesekolah jam 10 baru jepit-jepit itu aku lepas lambat-lambat. . Kadang papa yang menyempatkan diri pulang untuk mengepang dan mengantarkanku kesekolah dengan sepeda ontelnya.
Aku masih ingat setiap malam tangan itu memindai menyelusuri helai demi helai rambutku dengan jemarinya sembari bercerita susahnya hidup dizaman penjajahan atau semangat juang untuk bersekolah karena kecil sudah ditinggalkan ibu. Aku selalu menyimak petuah-petuah dari ibu cerita ibu sebelum tidur selalu kunanti agar aku bisa tidur dekat ibu dan aku bisa melihat wajah ibu dari dekat.Dengan menyelusuri rambutku dengan tangannya  terkadang membuat aku terlelap dipangkuannya. Memang tangan itu tidak bisa dibohongi, pernah suatu hari kepala ku tertimpa selembar papan saat bermain dirumah penjaga sekolah tempat ibu mengajar, karena takut dijahit oleh dokter aku tidak bilang sama ibu dan aku tidur lebih awal agar tidak ketahuan aku juga takut ibu akan cemas dengan keadaanku.. Seperti malam biasa jemari ibu menyelusuri helai demi helai rambutku. Ibu merasa heran kenapa rambutku menggumpal lalu aku dibangunkan dan di bawa kedekat lampu tempel. Betapa terkejut ibu melihat darah sudah mengering dikepalaku. Disela kecemasannya ibu bertanya bertubi-tubi. Baru aku ceritakan semuanya dan kata penjaga sekolah sudah tidak apa-apa besok akan sembuh karena sudah diobati dengan jaring laba-laba yang diambil dari loteng rumahnya.
             Setelah kami semua berkeluarga, kami tidak lagi tinggal bersama ibu. Ibu menerima satu orang anak kost sebagai teman dirumah Aku selalu mampir ketempat ibu sorenya baru aku pulang ke rumahku  atau ibu yang ketempat kami. . Kegiatan ibu banyak dihabiskan dengan kegiatan di mesjid kalau tidak ada kegiatan, ibu akan menyulam atau menjahit celana cucu-cucunya yang koyak yang sengaja di bawanya dari rumah kami. Sore itu aku tidur-tiduran disamping ibu. Aku pegang tangan ibu. Ah Sudah banyak jasanya tangan ini pikirku , tangan itu sudah mulai keriput dan benjolan pembuluh darahnya yang  menojol dengan mudah aku raba atau aku tarik dengan kedua jariku . Ada balutan perban  diantara jempol dan telunjuk  kanan ibu. Aku menanyakan kenapa tangan ibu diperban?“luka” Kata ibu.“Aku ganti perbannya ya bu?”. Kataku sembari bangkit untuk mencari air suam-suam kuku.“Gantilah” Kata ibu sembari menyodorkan tangan kanannya padaku. Dengan hati-hati aku buka perbannya. Astagfirullah ditangan ibu ada luka besar yang menganga. Sekarang giliran aku yang terkejut “kenapa tangan ibu ini…” Kataku cemas. Ibu hanya diam. Aku usap tangan itu aku tanyai ibu dengan hati-hati. Rupanya ada gelas yang retak yang tidak jelas lagi oleh mata ibu,  waktu mencucinya tangan ibu luka karena tekanan saat mencucinya retakan pada gelas melukai jemari ibu. Oh….. betapa sakitnya itu karena gelas itu terselip diantara jempol dan telunjuk ibu. Seharusnya tangan itu tidak lagi mengurus hal yang demikian tapi ibu tetap tidak betah tinggal di satu tempat selain di rumahnya sendiri. Anak –anak ibu telah pergi mencari hidup. Kami selalu membujuk ibu dengan senang dan tidak akan mengganggu ibadah ibu asal ibu mau tinggal dengan kami tapi ibu berdalih “Rumah ini  banyak kenangannya bagi ibu”. Ibu bukankah anak –anak ku sudah besar mereka tidak akan merepotkan ibu bahkan ibu yang akan kami manjakan ibu mau menuruti keinginana ku. Baju-baju ibu dimasukan kedalam tas besar. Aku sangat senang aku akan selalu bersama ibu dihari tuanya. Namun besoknya ibu sudah berkemas lagi- dan mengatakan mau pulang kasihan rumahnya tinggal. Tas besar beserta ibupun diantar kembali pulang. Akhirnya kami mengalah, ibu akan datang kerumah kami tapi tidak untuk menetap.. Sambil mengganti perban ibu aku  menyembunyikan air mata. Kapan aku akan menyenangkan tangan ini pikirku dalam hati. Untuk tidak memperlihatkan sedih ku aku pergi kebelakang mencari-cari kesibukan. Ada setumpuk kain kotor yang belum dicuci , tidak biasanya kain ini menumpuk seperti ini. Sampai tangan ibu sembuh aku yang mengambil alih  pekerjaan ibu.
`        Sejak itu aku lebih memperhatikan  ibu  kadang kami janjian disekolah tempat aku mengajar atau   untuk bertemu di satu tempat. Kadang-kadang  ibu menyusul aku kesekolah tempat  aku mengajar, dengan izin ketua yayasan ibu aku bawa kekedalam kelas dan murid-muridku pun mengelilingi ibu. Ibu yang juga pensiunan guru tidak merasa canggung mengadapi murid- muridku Kebetulan aku mengajar di sekolah khusus , ibu  akan tertawa-tawa melihat tingkah murid ku. Mereka minta ibu membantunya mengerjakan latihan yang ku berikan . Usai mengajar aku menanyakan pada ibu kemana kita hari ini, kadang ibu minta diantar mengurus askes atau mencek matanya kerumah sakit atau membeli kebutuhan sehari-hari. Kadang kami pergi makan ikan bakar atau sekedar makan soto.
Hari-hari ku bahagia bersama ibu, tidak seperti biasanya ibu menelefon dan mengatakan ibu kurang sehat, dengan terburu-buru aku menemui ketua yayasan dan minta izin untuk ke rumah ibu. Alhamdullah aku mendapat izin mungkin melihat kecemasan diwajahku. Jarak rumah ibu dengan sekolah tempat ku mengajar tidak terlalu jauh dalam waktu sepuluh menit aku sudah sampai dirumah dengan menggunakan sepeda motor. .
            Kudapati ibu sedang tidur ibu mengeluhkan hulu hatinya sakit, Ku usap kening ibu terasa dingin begitu juga seluruh tubuhnya . “ Ibu sudah makan”? tanya ku ibu hanya menggeleng, segera aku buatkan ibu teh panas dan mencarikan sepotong roti. Tak lama ibu mengatakan badan ibu sudah baik aku merasa lega . “ Ibu nanti sore kita ke dokter ya, biar ibu benar-benar sembuh”. Ibu setuju lalu aku tanya kepada tetangga sebelah tempat berobat yang bagus. Tetangga sebelah menyarankan berobat ke kampung Cina ada dokter specialist yang bagus. Ibupun segera didaftarkan untuk berobat nanti sore kedokter. Untuk pertolongan pertama aku minta tolong kepada tenaga medis yang tinggal dekat rumah ku. Hasil pemeriksaanya  mengatakan ibu baik-baik saja dan tidak perlu dibawa ke specialist .  Dengan keadaan ibu yang mulai membaik aku pamit untuk pulang dan menelefon adikku untuk mengantar ibu ke tempat ku  nanti sore.
“Ibu aku pulang dulu ya nanti ibu mau dimasakan apa”? Tanya ku .” Masakan ibu “pangek masin”  ( sejenis gulai masakan dari Padang) pinta ibu. Aku memang suka membuatkan ibu masakan kesukaannya itu.
             Rabu 21 April 2010 hari yang tak terlupakan, ibu ke rumah ku diantar adik  bungsu ku  anak laki-laki satu-satunya ibu, kami berdua tinggal dikota yang sama dengan ibu. Seperti biasa  kalau sudah berkumpul akan bercengkrama. Disela canda kami ibu masih sempat menelefon adikku yang nomor dua. Jam 9 malam tak seperti biasanya  ibu menyuruh adikku pulang  biasanya ibu akan meminta adik ku untuk  menginap dirumah ku.
              Malamnya ibu memanggilku, ibu minta tolong mengambilkan minum. Ibu mengatakan hulu hatinya sakit lagi aku mengoleskan balsem dan ibu  mengatakan bahwa ibu mau kekamar mandi dan akupun mengantarkannya. Dalam  hati aku membatin “ Ibu aku akan merawat ibu seperti ibu merawat ku diwaktu kecil” aku bantu ibu untuk mencebokannya. Kembali ke kamar tidur aku papah ibu karena ibu mengatakan lantai yang dipijaknya licin. Bulir-bulir keringat membasahi kening ibu aku usap dengan handuk kecil. Rambut ibu yang panjang sepertinya sudah tidak rapi lagi maka tangan kanan ku  menjangkau sisir  untuk menyisir rambut ibu dan mengepangnya, bukankah ibu dulu setiap pagi mengepangkan rambutku juga. Ibu kelihatannya senang dengan dirapikannya rambut ibu.  Aku kembali memijit kaki ibu. Kemana tanganku memijit  tangan ibu ikut  memegang tangan ku. Ibu kembali tidur setelah aku pasangkan baju hangat dan akupun menyelimuti ibu. Akupun tidur disamping ibu. Paginya saat aku membangunkan ibu  tangan ibu sudah kaku. Ibu…...ibu…...panggilku. Ibu sudah pergi meninggalkan aku.
                           Ibu sekarang tangan ku yang akan selalu tengadah kepada Allah  mendoakan ibu dan papa untuk  mendapat ketenangan dan ampunan dialam sana . Good Sleeping
My Darling seperti  yang ibu sulam pada bantal putih ibu. 

Puisi Untuk  Ibu
Tersentak aku dalam
keheningan malam,
terngiang ucapan Allahu akbar
Ibu engkau dalam kesakitan,
wajahmu pias ,
peluhmu beracikan,
kugenggam jemari ibu,
dingin ku rasakan,
jemari yang mengepang rambutku dengan kasih
Menyelisik rambut mengurai satu persatu
mengurai jaring laba-laba penutup luka,
Aku kepang rambutmu yang berantakan,
kuhapus peluhmu yang mengalir,
kuhangatkan jemari ini dengan pijatan,
kemana tanganku memijit
kesana pula tanganmu kau arah

Ibu begitu banyak kasih yang kureguk,
 begitu banyak sayang kau curahkan,
Ku pandangi ibu ada damai di wajahmu,
kuselimuti ibu dengan pelukanku,

Ibu, ibu, ibu…
mengapa engkau membisu,
 mengapa jemarimu kaku,
ibu dalam termanggu kau tinggalkan aku.


Dra. Lifya