Ku
Kepang Rambut Ibu Untuk Yang Terakhir
Sudah banyak kenangan yang aku lalui bersama ibu. Di usia ke 68 ibu masih
terlihat bersemangat mengerjakan kegiatan sehari-hari. Tidak pernah tangannya
berhenti bekerja. Kadang kami mengingatkan untuk tidak bekerja terlalu lelah
tapi semua itu tidak pernah digubris ibu. Aku akan menyembunyikan arit yang
digunakan ibu dan itu akan membuat ibu jadi marah ibu mengatakan itu adalah
olah raga bagi ibu, Akhirnya aku mengalah setiap ibu selesai berolah raga
dengan cangkul dan aritnya maka aku akan memijit badan kaki dan tangan ibu dan hal itu akan membuat
ibu nyenyak tidur atau aku buatkan bubur ketan hitam kesukaan ibu.. Dulu tangan
itulah yang menyuapi dan mengurus kami, kata ibu “dengan jari yang sepuluh inilah
ibu membesarkan anak”. Tatkala adikku merengek minta ikut maka saat mau
pergi mengajar ibu tidak pernah kehilangan
akal untuk membujuk, dengan cekatan tangan itu mengambil batang kangkung yang
tumbuh di depan rumah lalu dilobangi ruas-ruasnya sehingga menyerupai sebatang
pipet setelah itu dicelupkan ke air
sabun. Ibu meniupnya maka gelembung sabun akan berterbangan. Adik ku akan
melompat gembira menangkap balon-balon kecil itu. Aku segera mengambil alih air
sabun ditangan ibu sambil memberi kode bahwa ibu sudah boleh pergi mengajar.
Entah dari mana ibu dapat kepandaian yang jelas adikku tidak tahu bahwa ibu
sudah berangkat kesekolah tempatnya mengajar. Ibu sempat kerepotan dengan
rambutku yang panjang kalau aku tidak bersamaan berangkat kesekolah ibu takut
rambutku akan berantakan , Aku tahu ibu pasti tidak suka aku berangkat
kesekolah dengan rambut acak-acakan maka pagi sekali aku minta rambutku
dikepang oleh ibu lalu aku jepit yang banyak untuk menjaga kerapihannya karena
aku berangkat kesekolah jam 10 baru jepit-jepit itu aku lepas lambat-lambat. .
Kadang papa yang menyempatkan diri pulang untuk mengepang dan mengantarkanku
kesekolah dengan sepeda ontelnya.
Aku masih ingat
setiap malam tangan itu memindai menyelusuri helai demi helai rambutku dengan
jemarinya sembari bercerita susahnya hidup dizaman penjajahan atau semangat
juang untuk bersekolah karena kecil sudah ditinggalkan ibu. Aku selalu menyimak
petuah-petuah dari ibu cerita ibu sebelum tidur selalu kunanti agar aku bisa
tidur dekat ibu dan aku bisa melihat wajah ibu dari dekat.Dengan menyelusuri
rambutku dengan tangannya terkadang membuat aku terlelap dipangkuannya.
Memang tangan itu tidak bisa dibohongi, pernah suatu hari kepala ku tertimpa
selembar papan saat bermain dirumah penjaga sekolah tempat ibu mengajar, karena
takut dijahit oleh dokter aku tidak bilang sama ibu dan aku tidur lebih awal
agar tidak ketahuan aku juga takut ibu akan cemas dengan keadaanku.. Seperti
malam biasa jemari ibu menyelusuri helai demi helai rambutku. Ibu merasa heran
kenapa rambutku menggumpal lalu aku dibangunkan dan di bawa kedekat lampu
tempel. Betapa terkejut ibu melihat darah sudah mengering dikepalaku. Disela
kecemasannya ibu bertanya bertubi-tubi. Baru aku ceritakan semuanya dan kata
penjaga sekolah sudah tidak apa-apa besok akan sembuh karena sudah diobati
dengan jaring laba-laba yang diambil dari loteng rumahnya.
Setelah kami semua berkeluarga, kami tidak lagi tinggal bersama ibu. Ibu
menerima satu orang anak kost sebagai teman dirumah Aku selalu mampir ketempat
ibu sorenya baru aku pulang ke rumahku atau ibu yang ketempat kami. . Kegiatan ibu
banyak dihabiskan dengan kegiatan di mesjid kalau tidak ada kegiatan, ibu akan
menyulam atau menjahit celana cucu-cucunya yang koyak yang sengaja di bawanya
dari rumah kami. Sore itu aku tidur-tiduran disamping ibu. Aku pegang tangan
ibu. Ah Sudah banyak jasanya tangan ini pikirku , tangan itu sudah mulai keriput
dan benjolan pembuluh darahnya yang
menojol dengan mudah aku raba atau aku tarik dengan kedua jariku . Ada
balutan perban diantara jempol dan telunjuk kanan ibu. Aku menanyakan
kenapa tangan ibu diperban?“luka” Kata ibu.“Aku ganti perbannya ya bu?”. Kataku
sembari bangkit untuk mencari air suam-suam kuku.“Gantilah” Kata ibu sembari
menyodorkan tangan kanannya padaku. Dengan hati-hati aku buka perbannya.
Astagfirullah ditangan ibu ada luka besar yang menganga. Sekarang giliran aku
yang terkejut “kenapa tangan ibu ini…” Kataku cemas. Ibu hanya diam. Aku usap
tangan itu aku tanyai ibu dengan hati-hati. Rupanya ada gelas yang retak yang
tidak jelas lagi oleh mata ibu, waktu mencucinya tangan ibu luka karena
tekanan saat mencucinya retakan pada gelas melukai jemari ibu. Oh….. betapa
sakitnya itu karena gelas itu terselip diantara jempol dan telunjuk ibu.
Seharusnya tangan itu tidak lagi mengurus hal yang demikian tapi ibu tetap
tidak betah tinggal di satu tempat selain di rumahnya sendiri. Anak –anak ibu
telah pergi mencari hidup. Kami selalu membujuk ibu dengan senang dan tidak
akan mengganggu ibadah ibu asal ibu mau tinggal dengan kami tapi ibu berdalih
“Rumah ini banyak kenangannya bagi ibu”. Ibu bukankah anak –anak ku sudah
besar mereka tidak akan merepotkan ibu bahkan ibu yang akan kami manjakan ibu
mau menuruti keinginana ku. Baju-baju ibu dimasukan kedalam tas besar. Aku
sangat senang aku akan selalu bersama ibu dihari tuanya. Namun besoknya ibu
sudah berkemas lagi- dan mengatakan mau pulang kasihan rumahnya tinggal. Tas
besar beserta ibupun diantar kembali pulang. Akhirnya kami mengalah, ibu akan
datang kerumah kami tapi tidak untuk menetap.. Sambil mengganti perban ibu aku
menyembunyikan air mata. Kapan aku akan menyenangkan tangan ini pikirku
dalam hati. Untuk tidak memperlihatkan sedih ku aku pergi kebelakang
mencari-cari kesibukan. Ada setumpuk kain kotor yang belum dicuci , tidak
biasanya kain ini menumpuk seperti ini. Sampai tangan ibu sembuh aku yang
mengambil alih pekerjaan ibu.
` Sejak
itu aku lebih memperhatikan ibu kadang kami janjian disekolah tempat aku
mengajar atau untuk bertemu di satu
tempat. Kadang-kadang ibu menyusul aku kesekolah
tempat aku mengajar, dengan izin ketua
yayasan ibu aku bawa kekedalam kelas dan murid-muridku pun mengelilingi ibu.
Ibu yang juga pensiunan guru tidak merasa canggung mengadapi murid- muridku
Kebetulan aku mengajar di sekolah khusus , ibu akan tertawa-tawa melihat
tingkah murid ku. Mereka minta ibu membantunya mengerjakan latihan yang ku
berikan . Usai mengajar aku menanyakan pada ibu kemana kita hari ini, kadang
ibu minta diantar mengurus askes atau mencek matanya kerumah sakit atau membeli
kebutuhan sehari-hari. Kadang kami pergi makan ikan bakar atau sekedar makan
soto.
Hari-hari ku
bahagia bersama ibu, tidak seperti biasanya ibu menelefon dan mengatakan ibu
kurang sehat, dengan terburu-buru aku menemui ketua yayasan dan minta izin
untuk ke rumah ibu. Alhamdullah aku mendapat izin mungkin melihat kecemasan
diwajahku. Jarak rumah ibu dengan sekolah tempat ku mengajar tidak terlalu jauh
dalam waktu sepuluh menit aku sudah sampai dirumah dengan menggunakan sepeda
motor. .
Kudapati
ibu sedang tidur ibu mengeluhkan hulu hatinya sakit, Ku usap kening ibu terasa
dingin begitu juga seluruh tubuhnya . “ Ibu sudah makan”? tanya ku ibu hanya
menggeleng, segera aku buatkan ibu teh panas dan mencarikan sepotong roti. Tak
lama ibu mengatakan badan ibu sudah baik aku merasa lega . “ Ibu nanti sore
kita ke dokter ya, biar ibu benar-benar sembuh”. Ibu setuju lalu aku tanya
kepada tetangga sebelah tempat berobat yang bagus. Tetangga sebelah menyarankan
berobat ke kampung Cina ada dokter specialist yang bagus. Ibupun segera
didaftarkan untuk berobat nanti sore kedokter. Untuk pertolongan pertama aku
minta tolong kepada tenaga medis yang tinggal dekat rumah ku. Hasil
pemeriksaanya mengatakan ibu baik-baik
saja dan tidak perlu dibawa ke specialist .
Dengan keadaan ibu yang mulai membaik aku pamit untuk pulang dan
menelefon adikku untuk mengantar ibu ke tempat ku nanti sore.
“Ibu aku pulang dulu ya nanti
ibu mau dimasakan apa”? Tanya ku .” Masakan ibu “pangek masin” ( sejenis gulai masakan dari Padang) pinta
ibu. Aku memang suka membuatkan ibu masakan kesukaannya itu.
Rabu 21 April 2010 hari yang tak terlupakan, ibu ke rumah ku diantar adik
bungsu ku anak laki-laki satu-satunya ibu, kami berdua tinggal dikota
yang sama dengan ibu. Seperti biasa kalau sudah berkumpul akan bercengkrama.
Disela canda kami ibu masih sempat menelefon adikku yang nomor dua. Jam 9 malam
tak seperti biasanya ibu menyuruh adikku
pulang biasanya ibu akan meminta adik ku
untuk menginap dirumah ku.
Malamnya ibu memanggilku, ibu minta tolong mengambilkan minum. Ibu
mengatakan hulu hatinya sakit lagi aku mengoleskan balsem dan ibu mengatakan bahwa ibu mau kekamar mandi dan
akupun mengantarkannya. Dalam hati aku
membatin “ Ibu aku akan merawat ibu seperti ibu merawat ku diwaktu kecil” aku
bantu ibu untuk mencebokannya. Kembali ke kamar tidur aku papah ibu karena ibu
mengatakan lantai yang dipijaknya licin. Bulir-bulir keringat membasahi kening
ibu aku usap dengan handuk kecil. Rambut ibu yang panjang sepertinya sudah
tidak rapi lagi maka tangan kanan ku
menjangkau sisir untuk menyisir
rambut ibu dan mengepangnya, bukankah ibu dulu setiap pagi mengepangkan
rambutku juga. Ibu kelihatannya senang dengan dirapikannya rambut ibu. Aku kembali memijit kaki ibu. Kemana tanganku
memijit tangan ibu ikut memegang tangan ku. Ibu kembali tidur setelah
aku pasangkan baju hangat dan akupun menyelimuti ibu. Akupun tidur disamping
ibu. Paginya saat aku membangunkan ibu tangan ibu sudah kaku.
Ibu…...ibu…...panggilku. Ibu sudah pergi meninggalkan aku.
Ibu sekarang tangan ku yang akan selalu tengadah kepada Allah mendoakan
ibu dan papa untuk mendapat ketenangan
dan ampunan dialam sana . Good Sleeping
My Darling seperti yang
ibu sulam pada bantal putih ibu.
Puisi
Untuk Ibu
Tersentak
aku dalam
keheningan
malam,
terngiang
ucapan Allahu akbar
Ibu
engkau dalam kesakitan,
wajahmu
pias ,
peluhmu
beracikan,
kugenggam
jemari ibu,
dingin
ku rasakan,
jemari
yang mengepang rambutku dengan kasih
Menyelisik
rambut mengurai satu persatu
mengurai
jaring laba-laba penutup luka,
Aku
kepang rambutmu yang berantakan,
kuhapus
peluhmu yang mengalir,
kuhangatkan
jemari ini dengan pijatan,
kemana
tanganku memijit
kesana
pula tanganmu kau arah
Ibu
begitu banyak kasih yang kureguk,
begitu banyak sayang kau curahkan,
Ku
pandangi ibu ada damai di wajahmu,
kuselimuti
ibu dengan pelukanku,
Ibu,
ibu, ibu…
mengapa
engkau membisu,
mengapa jemarimu kaku,
ibu
dalam termanggu kau tinggalkan aku.
Dra. Lifya