Seorang gadis kecil dengan seekor ikan kecil ditangannya, Gadis itu mencium-cium
ikan tersebut aku terus memperhatikan gadis kecil itu sembari menanyakan siapa
namanya, ia menengadahkan kepala sembari menggelengkannya. Gadis kecil itu
bernama Yola kebetulan aku satu angkot dengannya. Yola putri bungsu ibu Ratna sudah berumur 3 tahun ia lambat dalam bicara ,
kurang peduli dengan lingkungan tidak tertarik dengan mainan dan tidak mau
bermain dengan teman, tampaknya Yola sulit
dalam bergaul. Orang tuanya membawa kedokter dengan keluhan Yola lambat dalam
bicara kosa katanya masih sedikit. Dengan keluhan demikian sang dokter
menganggapnya sebagai keterlambatan “biasa “. Dokterpun memberi saran untuk
memperhatikan perkembangan bahasanya dalam setahun ini dan menyuruh orang tua
banyak mengajak Yola untuk berbicara. Bu Ratna pun merasa lega, sehingga tak
perlu untuk mengambil langkah nyata guna memperbaiki keadaan.
Tetapi, ketika selang setahun
kemudian keadaan Yola masih tetap, bahkan makin bertambah dengan adanya
berbagai perilaku” aneh” Yola semakin cuek diajak senyumpun Yola tidak
merespon, ditanya mana anggota tubuhnya Yolapun diam. Yola enggan menatap mata
lawan bicaranya, apabila terlambat mendapatkan keinginannya Yola cepat marah
dan sering mengamuk tapi terkadang Yola tergelak sendiri pola berilakunya
berulang. Apabila berbicara mama dan papanya tidak mengerti dan banyak lagi
dijumpai keanehan yang ditunjukan oleh Yola .
Maka bu Ratnapun mulai panik , Bu Ratna mendesak dokter untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium ternyata hasilnya tak merunut kearah diagnosa yang
jelas dan pasti.
Bu Ratna dan
suaminya membawa Yola ke Psikiater untuk diperiksakan. Kata orang bawa ke
Neurolog maka Bu Ratnapun membawa keneurolog. Yola dibawa kesana kemari
sampai-sampai ke Pediater.
Melalui
pemeriksaan seksama akhirnya dapat ditegakan diagnosis bahwa Yola mengalami
suatu gangguan perkembangan yang cukup luas, yang disebut Gangguan Perkembangan
Pervasif yang sekarang sering disebut gangguan SpektrumAutisme (Autism Spectrum
Disorder),Gangguan Perkembangan Pervasif ini yakni suatu gangguan yang memiliki
spectrum luas.
Gejala Autisme
Gejala Autisme sudah tampak pada usia 3 tahun, bahkan ada
yang sudah tampak sejak lahir. Dengan pengamatan teliti, setidaknya gejala
sudah bisa dikenal sebelum anak berusia satu tahun.
Pada perkembangan normal, diusia 3
bulan anak akan mampu melakukan interaksi dengan ibunya dalam bentuk celoteh.
Umur 8 bulan sikecil mampu memberikan respon tatkala ditimang, antara lain
dengan tatapan mata yang cukup tajam kea rah si penimang. Namun pada penyandang
Autisme, yang tampak adalah kesan cuek alias tak peduli malah mereka cendrung
asyik bermain sendiri, bahkan sampai tergelak-gelak.
Gambaran Gejala Autisme Secara Garis
Besar
1.Gangguan
dalam bidang komunikasi
Contohnya: terlambat bicara,mengucap
kata-kata bukan untuk komulnikasi, sering membeo, cendrung menarik tangan orang
terdekat untuk kepentingannya dan lain-lain.
2. Gangguan
dalam bidang sosialisasi
Contohnya: tidak memberikan respon saat
dipanggil, cendrung menyendiri, tak ada upaya untuk berinteraksi dengan orang
lain, menolak dipeluk dan lain-lain.
3. Gangguan
dalam bidang perilaku
Contohnya:
perilaku berlebihan hiperaktif, mondar
mandir tanpa tujuan, melompat-lompat, memukul-mukul, berputar-putar,
mengulang-ulang perilaku tertentu atau dapat pula perilaku kurang, sikap
bengong tatapan mata kosong, tindakan monoton berulang-ulang, keretpakuan pada
benda-benda tertentu, terus memegang
suatu benda dan dibawa kemana-mana, pola
perilaku ritualistic dan lain-lain.
4.Gangguan
dalam emosi Emosi
Contohnya: tak mampu berempati, gampang marah atau
bahkan mengamuk, mudah menangis, merasa takut yang tak relevan, bisa
tertawa-tawa sendiri tanpa sebab yang jelas.
5. Gangguan
dalam bidang persepsi
Contohnya:
Mencium-cium atau menggigit-gigit benda tertentu , menutup telingaterhadap
suara tertentu, menghindari pemandangan tertentu, menolak rabaan, pelukan,
pakaian kasar dan lain-lain.
Dari gejala diatas tak semuanya
harus tampak pada penyandang Autisme. Pada Autisme ringan, bisa hanya tampak
sebagian. Bahkan pada kasus ringan sekali sering terluput dari diagnosis, sehingga
baru ketika anak tersebut menginjak awal remaja, disadari adanya gangguan yang
kian nyata.
Kadang terasa berat bagi orang tua
untuk menerima diagnosis dari psikiater, Neurolog, ataupun Pediater, bahwa
anaknya menyandang Autisme. Namun dengan penjelasan jernih dan seksama umumnya
orang tua kian paham, bahwa ganggguan perkembagan ini pada dasarnya bisa
diterapi dan bisa disembuhkan dan keberhasilan terapi amat ditentukan oleh
adanya diagnosis dini agar bisa selekasnya didilakukan pula terapi dini secara
intensif dan terpadu.
Apa yang mesti dilakukan ?
Seperti telah dikemukakan, begitu
ditetapkan diagnosis, perlu segera dilakukan terapi atau penatalaksanaan sedini
mungkin, intensif dan terpadu. Beberapa jenis terapi yang bisa dilakukan secara
terpadu antara lain.
1.
Terapi perilaku
Salah satu bentuk tatalaksana perilaku adalah metoda yang dikembangkan
ivar Lovaas dari UCLA atas dasar konsep ABA { Applied Behavior Analysis)
Menurut Ivar Lovaas, tatalaksana perilaku perlu dilaksanakan secara
intensif. Dari penelitiannya pemberian terapi 40 jam seminggu selama 2 tahun,
menunjukan hasil peningkatan IQ yang besar pada penyandang Autisme. Dalam
praktek, peran keluarga sangat besar artinya dalam keterlibatannya sebagai
terapis disamping para terapis formal disuatu lembaga terapi.
2. Diet CFGF/Terapi Biomedik
Dilakukan diet CFGFSF (Casein Free, Gluten Free, Sugar Free )
Yang termasuk dalam kejian terapi biomedik, dengan pertimbangan bahwa
gejala pada Autisme diperparah adanya gangguan metabolism, yang berakibat
terjadinya gangguan fungsi otak. Dengan terapi ini diharapkan fungsi-fungsi
abnormal pada otak anak bisa diatasi, sehingga susunan Saraf Pusat akan bekerja
lebih baik. Maka berbagai gejala autismepun bisa dikurangi atau bahkan
dihilangkan.
3. Terapi Medikamentosa
Pada dasarnya terapi medikamentosa atau pemberian obat bukan untuk
menggantikan program terapi yang lain. Karena obat memang tak bisa menyembuhkan
Autisme. Jadi peranannya sebagai penunjang program terapi secara terpadu. Hal
yang patut diingat terapi obat harus
sepenuhnya demi kepentingan pasien. Bukan berorientasi untuk “ kenyamanan”
keluarga atau siapapun yang tak mau
diganggu oleh perilaku autistic si-anak.
4. Terapi Okupasi dan terapi Fisik
Terapi Okupasi diperlukan bagi penyandang Autisme yang mengalami gangguan
perkembangan motorik halus dan terapi fisik bagi gangguan motorik kasar.
Melalui berbagai kegiatan , dalam terapi-terapi ini dilakukan perbaikan serta
evaluasi berkesinambungan atas kekuatan, koordinasi dan keterampilan otot-otot
motorik anak.
5. Terapi Wicara
Kadang penyandang Autisme memiliki permasalahan dalam kemampuan bicara.
Untuk itu perlu dilakukan terapi wicara. Terapi wicara pada Autisme tak sama
dengan pada kasus gangguan bicara oleh sebab lain. Karena itu di sini terapis
memahami benar segala permasahan yang khas pada anak autis.
6. Terapi Bermain
Karena dunia anak adalah “dunia bermain” maka bagi anak-anak Autis pun
bisa diterapkan konsep terapi bermain. Melalui bermain pada mereka bisa dioptimalkan
berbagai hal. Antara lain: Bahasa reseptif maupun ekspresif, keterampilan psikososial, perkembangan emosi,
perkembangan kognitif dan sebagainya.
7. Pendidikan Khusus
Pendidikan khusus merupakan suatu bentuk pendidikan individual. Yang
menekankan pada pemahaman atas keunikan masing-masing anak. Bisa dilakukan
ditempat tertentu sebagai suatu sekolah khusus
atau dilakukan dirumah dengan mengacu pada konsep homeschooling
(sekolah-rmah). Setelah tampak perbaikan nyata, secara bertahap penyandang
Autisme diarahkan untuk masuk sekolah formal, bersama anak-anak lain.
Disamping beberapa terapi yang disebutkan diatas, dikenal pula beberapa jenis terapi lain misalnya: sensory integration therapy,
musical therapy, dolphin therapy, daily life therapy,holding thetapy dan
lain-lain.Semua bisa dilakukan pada individu Autistik, sejauh diperlukan dan
sesuai kekhasan gejala yang didapatkan pada masing-masing anak.
Apakah Autis bisa mengalami perbaikan?
Seperti dikemukakan di atas dengan
terapi dini, intensif dan terpadu, memungkinkan penyandang Autisme memperoleh
perbaikan optimal ( artinya sembuh), bahkan tak tampak gejala sisa, hingga tak
diduga bahwa mereka mantan individu Autistik. Di Indonesia banyak yang berhasil
menyelesaikan studi, bahkan sampai meraih gelar S-1. Karena itu tak ada alasan
bagi siapa pun untuk terpasung kesedihan berlarut-larut, bila sang buah hati
didiagnosis Autisme. Seyogyanya, terima dengan hati jernih, kemudian secepatnya
ambil tindakan nyata lakukan terapi dini, intensif dan terpadu. Raih kemenangan
dalam berlomba dengan sang waktu.
Nb. Disadur dari catatan Kecil : Dr. Kresno Mulyadi, SpKJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar